kisah perjuangan orang tua
SANG
INSAN PELINDUNG
Sore
itu, terlihat seorang anak perempuan bernama Lala tengah duduk diatas pohon
mangga sambil melamun tanpa kedipat mata. Usianya sekitar anak SMA kelas 2. Ia
berasal dari keluarga sederhana disebuah Desa ujung bukit yang jauh dari perkotaan.
Orang tuanya memiliki profesi sebagai seorang petani yang hasilnya cukup untuk
makan satu atau dua hari saja. Ketika itu kedua orang tua Lala sesekali
memandangi putrinya sembari memikul memindahkan umbi pohon kedalam karung.
Orang tuanya keheranan dengan sikap putrinya itu, yang akhir-akhir ini sering
melamun dan mengabaikan perintahnya. Ibunya sempat memberi isyarat turun kepada
Lala dengna mengangkat tangan kanan menaik turunkan telapak tanganya. Namun hal
itu tak Lala hiraukan, ia tetap menyangga dagunya ditangan kirinya dan
memandang pada satu titik yaitu kayu pagar yang berlubang. Entah apa yang
sedang berlarian dipikiran Lala itu, sehingga membuat Lala malas untuk
memberikan senyumannya kepada wanita tengah baya itu. Hari semakin gelap, tiuapna
angin semakin menjadi yang diiringi rintikan air dari atas langit. Tetesan air
mengenai lengan Lala, yang akhirnya membuat posisi Lala berubah. Lala
memalingkan wajahnya keawan, setelah itu ia menghembuskan nafas kesahnya.
Tak
lama kemudian Lala memanggil ibunya
“Emak,,
“iya,
ada apa ndok ? jawab ibunya dengan lembut
Lala
pun turun dari pohon, lalu menendang kerikil ke kobangan air hujan. Ciratan air
mengenai kaki ibunya, namun lala terus berjalan menuju rumah dan menggebrak
sampai salah satu engselnya terlepas dan seolah-olah tak peduli dengan ciratan
kobangan air mengenai kaki ibunya. Jepit sandal lala tampak terlepas membuat
Lala meninggalkan sandalnya dan berlari tanpa alas kaki.
“Lala
kenapa bu ?
“ibu
juga nggak tahu pak,”
“Ibu
ikuti Lala kenapa dia seperti itu,,”
“baik
pak”
Ibu
Lala segera memasukan pikulan pohung terakhir kedalam karung dan mengikatnya.
Kemudian pergi ke sumur yang masih manual tanpa listrik. Salah satu tangan
beliau menarik tali kerekan ember untuk meniba air lalu dilepaskannya ember ke
dalam sumur. Didapatnya air untuk membersihkan kotoran ditangan dan kaikinya.
Lala
keluar dari rumah menghampirii ibunya sambil membawa selemebar kertas
“ini
mak,”
“apa
ini ndok”
“spp”
Ibunya
mulai membuka lekukan kertas itu dan matanya fokus pada isi tulisan “5 bulan”.
Ternyata Lala belum membayar SPP bulanan sekolahnya. Ibunya tersenyum menatap
Lala dan berkata
“sabar
ya mduk, emak bilang bapak dulu”
Tangan
ibu Lala mengusap rambut lala dengan pelan. Lala terlihat manyun dan tampak tak
kenal kata senyum lagi kala itu. Ibunya masuk kerumah kemudian bersiap untuk
pergi ke surau, sekalipun dengan bapaknya mengenakan peci, baju kokoh dan
sarung kotak-kotak.
“ayo
La”
“iya,
Lala nyusul pak”
Lala
seorang cewek tomboy yang cantik, meski sikapnya kadang eror tapi ia tak pernah
meninggalkan 5 waktunya. Lala segera mengambil air wudhu dan menyusul orang
tuanya ke surau. Seusai jamaah maghrib serta isya, lala dan kedua orang tuanya
hendak makan malam bersama. Dengan secentong nasi, tahu, tempat, sambal dan lalapan
mentimun, begitulah menu malam mereka. Bapak dan ibu lala makan dengan
menikmati rezeqi yang ada. Disela sedang makan lala menggebrakkan tangannya ke
meja makan.
“bruuugh..”
“Lala
kamu sedang apa ?
“lala
males makan”
“lala
kaamu itu kenapa ndu?
Lala
meninggalkan meja makan dan berlari menuju kursi depan. Bapknya yang setengah
masih menelan nasi beranjak menghampiri Lala.
“lala
? kenapa nduk ?
“pak,
lala minta seragam sekolah baru, tas, buku, sepatu dan sepeda baru. Lala malu
sama temen-temen lala, mereka semua berasal dari keluarga kaya, barang-barang
merekapun mewah dan mahal.
Kedua
orang tuanya terdiam berusaha menerima kekesalan Lala. Bapak Lala yang duduk
menghadap kedepan membelok badan dan pandangannua kewajah lala dan tersenyum.
Ibu lala pun membalas tersenyum dan menganggukan kepala. Orang tua lala memang
sabar menghadapi sikap lala yang egois tiu, setiap lala marah mereka tersenyum
dan menasihatinya. Tetapi kali ini lala mengunci pintu kamarnya, sehingga
terpaksa ibunya hanya dapat diam dan membiarkan lala sendiri.
Dikamarnya
lala terus mengeluarkan air matanya hingga boneka yang ada dipelukannya basah.
Disetiap sedih Lala selalu memeluk boneka kesayangannya dengan sangat erat.
Bonek itu tempat lala melampiaskan kesedihannya disaat sendiri. Tak saddar
lalapun tertidur lelap hingga mentari menyambutnya kembali. Diusap kedua
matanya lalu diambilnya jam weker antik kesayangannya. Lala terkejut bergegas
melompat dari ranjang tidurnya dan disambarnya handuk meraih seperti kilat.
Sekitar lima menit lala kemudian keluar dari kamar mandi, lala tahu hari itu
hari minggu, tapi yang lala kejar adalah waktu subuhnya.
Setelah
selesai, lala keluar dari kamar dan didengarnya suara perut lapar. Lala kedapur
mencari makanan, didapatnya dua batang umbi pohung rebus dan segelas air putih.
Perut lala semakin keroncongan, apa yang terjadi jika tidak melahap umbi itu.
Lala mengunyah umbi dengan malas tapi ia tetap telan. Kedua orang tuanya sudah
berangkat ke ladang sejak tadi pagi sebelum ia bangun. Lala mengamati setiap
sudut rumah.
“lantai
aja masih tanah” celetuknya
Lala
keluar rumah dan enggan untuk membuang sampah plastik yang ada dibawah ia
duduk. Dipakanya sandal jepit warna kuning milik ibunya, baru satu kali lala
melangkah kebawah sandalnya ada sesuatu yang tajam. Lala melapas sandal itu dan
dilihatnya paku kecul tertancap dibawah sandal.
“ih,
ada pakunya lagi, tuh kan kakiku berdarah”
Keluh
lala, lala membersihkan darah dan membalutnya dengan hansaplas. Lalu lala pergi
untu kerumah Dewi, teman sekolah satu desanya.
Dewi
anak orang kaya, sama seperti teman-teman di kelasnya. Lala dan dewi sering
bersama, tetapi suatu ketika dewi tahu bahwa Lala berasal dari keluarga yang
kurang mampu, Dewi mulai tidak lagi care dengan Lala, teman-teman Lala yang
lainpun sama, bersikap acuh tak acuh ke Lala.
Lala
melihat dewi dengan teman-temannya sedang berbincang dihalaman depan rumah
dewi. Lala hanya berdiri didepan pintu gerbang mewah rumah Dewi. Lala takut
jika ia bergabung Lala hanya akan diejek. Lalapun memutuskan pulang, ia berfikir
“andai
aku seperti mereka, berasal dari keluarga yang punya” lala marah karena tidak
bisa sederajat dengan mereka.
Lala
kembali kerumah dan mengobrak-abrik semua isi rumah. Salah satu kaki kursi kayu
depan patah akibat lala lempar, gelas dan piring wadah pohung yang ia makan
tadi pagi juga pecah, meja pun terbalik
serta gorden pintu tampap sobek. Lala berteriak dan teriakannya terdengar
sampai ketetangganya, mereka keheranan dan langsung menemui Lala.
“lala
kamu kenapa nak ?
Lala
menatap seorang yang menanyainya dengan mata sembah mengeluarkan air mata, lalu
Lala hanya masuk kamar meninggalkan orang tersebut dan tidak sepatah katapun
Lala utarakan kepada orang itu. Lagi-lagi Lala melempar bantal dikamarnya dan
ditarik selimut serta sprei kasrnya. Sama sperti sebelum masuk kamar, ia
mengacak-acak semua parabot rumah, Lala benar-benar marah yang ia lukiskan
dengan amukan kali ini.
Tetangganya
pergi memanggil ibu lala di ladang memberitahukan putrinya terlihat aneh.
Seseorang itu memanggil ibu Lala dan membisiki telinganya. Ibu lala terkejut
lalu berlari terbirit-birit menuju rumah.
“lala
kamu kenapa nduk ? ini emak, buka pintunya lala”
Ibu
lala mengetuk pintu kamar lala dengan rasa cemas yang memuncak.
“Lala
sayang, ayo keluar cerita sama emak kamu kenapa ?
Apa
ini mgnenai masalah keinginan Lala tadi malam ? tebak ibunya
Lala
terus menangis dalam kamarnya
“ayo
lala, ibu khawatir dengan lala”
Hampir
tiga puluh menit lamanya ibu lala membujuk anaknya keluar kamar, tapi tidak
berhasil. Ibu lala berhenti sejenak untuk membereskan parabot rumah yang tadi
diacak-acak lala. Banyka isi rumah yang rusak dan harus diganti. Satu persatu
ibu lala membenahi dan menata seperti sedia kala. Gorden pintu, kursi piring
dan gelas terpaksa harus dibuang karena sudah tidak bisa dipakai lagi. Bu lala
yang penyabar itu terlihat kecapean, badannya basah kuyup seperti kehujanan.
Bercucuran keringatlah yang menempel kulit tubuhnya itu. Ibu lala masih bisa
tersenyum dan menunjukan kasih sayangnya kepada lala.
“lala,
kamu mau makan apa ? nanti emak siapkan,,”
Lala
tetap terdiam tanpa jawaban lantaran ia tertidur pulas. Ibunya memasak nasi dan
ikan laut untuk makan siang lala. Sudah [ukul satu siang lala belum pula keluar
kamar, ibunya mengetuk pintu lagi.
“lala,
ayo makan siang, makanan sudah siap”
Jari
tangan lala mulau menunjukan gerakan,matanya hampir terbuka, pelan-pelan ia
kedi[kan mata dan berusaha mengingat apa yang terjadi. Lala terbangun dari
posisi baringnya, ia duduk melihat semua isi kamarnya yang berantakan.
Diraihnya boneka kesayangannya lalu ia pelui\k.
“untuk
kamu tidak apa-apa”
Harapan
lala melalui kalimat tanya kepada boneka itu. Lala meletakkan kembali bonekanya
lalu ia membuka kunci pintu kamarnya. Dipegangnya tangan pinti kamar lalu ia
tarik. Lala melihatkan wajah cuek kepada ibunya yang menunggu di kuersi depan
kamarnya. Tidak sedikit senyuman ia lembar, lala langsung berkata
“mak,
laper”
Ibunya
tersenyum dan menunjukan makanan kepada Lala
“ini
nak, emak sudah buatkan makan siang untukmu, ayo makan”
Dengan
lahap lala makan menghabiskan makanannya itu dan tidak terfikirkan olehnya
untuk berbagi dengan ibunya. Ibu lala menyaksikan lala makan dengan lahapnya,
kesenangan tersendiri buat ibu Lala.
“gimana
ndu, ikannya enak ?
“he’em”
“lala
udah kenyang ?
“iya”
“sekarang
lala cerita sama emak. Mengapa lala tadi mengobrak-abrik rumah ? ada masalah
apa nduk ?
“yang
tadi malam ?
“iya,
iya emak paham. Tapi lala tidak seharusnya seperti ini. Bapak sama emak lagi
berusaha memenuhi keinginan lala, jadi lala bersabar ya “
Lala
mengangguk sekslai, lau pergi meninggalkan ibunya diraung makan. Lala mengambil
novel lalu memanjat pohon mangga dibelakang rumahnya. Ibunya terdiam melihat
tingkah putrinya itu karena hal itu sudah menjadi kebiasaan lala. Lala hobi
membaca novel apalagi diatas pohon mangga yang dapat ia rasakan hembusan angin
yang menenangkan. Diatas pohon mangga itu sudah sengaja bapak lala membuat
sebuah rumah pohon sebagai tempat kesukaan anaknya itu.
Sore
hongga malam, lala lewati hari seperti biasa, wajah cuek tetap ia pasang
dihadapan orang tuanya. Setelah makan malam, Lala langsung masuk kamar
menyiapkan semua peratalatan sekolahnya esok.
“besok
hari senin, semangat ya Lala”
Ungkapan
semangat untuk dirinya sendiri. Mulai dari seragam putih abu-anu ia pesiapkan
dengan menyetrikanya, kemudian buku-buku pelajaran serta alat tulis dimasukan
kedalam tas birunya. Sepatu, kaos kaki pun tak lupa lala cuci kemarin pagi.
Setelah selesai, Lala menyambung hobinya yaitu membaca novel. Lala gemar sekali
membaca kisah-kisah fiksi yang termuat adalam jilidan sebuah buku. Novel yang
Lala sukai tentang keremajaan, namun bukanlah pasal cinta atau pacaran tapi
mengenai kehidupan remaja yang memberi motivasi. Lalal sama sekali tidak
tertarik tentang percintaan remaja, entah apa sebabnya Lala enggan mengatahui
tentang hal itu. Mungkin karena sikap lala yang tomboi seperti layaknya seorang
laki-laki. Lala memang banyak mempunyai teman lak-laki, tapi ia tidak suka
teman laki-lakinya bermain perasaan. Sejak kecil lala berteman dengan para laki-laki,
karena teman tetangganya sebagian bergender laki-laki. Hal itu membuat sikap
lala tumbuh menjadi wanita yang tomboy dan kasar. Meski demikian sikap
kelembutan wanita seorang Lala tidak memudar. Kambali lagi ke novel, novel yang
paling sering Lala baca itu tentang motivasi semangat meniti kehidupan. Lala
membaca novel sambil duduk dikursi belajar dan terkadang bersandar diranjang
tempat tidur dengan meluruskan kedua kakinya. Hobi membaca novel itu sering
kali membuat Lala sadar akan kehidupan yang positif. Banyak kecakapan berbahasa
yang Lala kuasai untuk memainkan kalimat-kalimat yang memukau. Lala membaca
novel kali ini mulai dari halaman 31 hingga 73. Sekitar 42 halaman Lala
tuntaskan dalam kurang lebih 60 menit. Mata Lala mulai lelah dan memerah karena
mengantuk. Tak kuasa menahan kantuk, Lala belum meletakan novel di tempat
semula ia ambil, lala tertidur diatas bantal dan dibiarkannya novel tertutup
disampingnya.
Keesokan
harinya Lala bangun, sarapan dan bersiap untuk berangkat sekolah. Osis putih abu-abu,
berdasi, berkerudung, bertas biru dan dengan sepeda milik ibunya dulu selalu
menemani pahit manisnya perjalanan ke sekolah. Lala berusaha untuk tetap
tersenyum dengan tegar untuk memulai harinya itu. Sebagian besar teman-teman
Lala banyak yang mengendarai sepeda motor, dan ada juga yang diantar dengan
mobil mewah. Hanya Lala yang mengayuh sepeda setiap harinya. Sebenarnya Lala
malu dengan teman-temannya, yang akhirnya kini membuat Lala memarkirkan
sepedanya disemak-semak agar tidak terkihat oleh seluruh warga SMA nya. Sekitar
200 meter jarak dari gedung sekolahnya. Lala berjalan kaki untuk melanjutkan ke
tempat sumber menimba ilmunya itu. Terkadang Lala malu untuk masuk gerbang
dengan berjalankaki, tapi itu lumayan untuk mengurangi keminderannya. Ruang
kerlas Lala berada ditingkat 2 paling ujung timur. Lala berjalan kekelasnya
melewati ruang guru dan Lala berpapasan dengan salah seorang guru disekolahnya
itu.
“pagi
pak”
“pagi”
Sapaan
Lala kepada gurunya dengan senyuman ramahnya. Tiba-tiba
“tunggu
la,”
Seorang
guru B. Indonesia memberhentikan langkah kaki Lala.
“iya,
ada apa Pak Nur ?”
“tidak
apa-apa, kamu hari ini tumben datang siang ?”
“emmm,
iya pak tadi nungguin sarapan yang telat pka”
“oooh
begitu ya”
“iya
pak. Saya masuk kelas dulu pak”
“iya,
silahkan”
Lala
melirik jam dinding luar perpustakaan menunjukan pukul 06.55, Lala mempercepat
langkahnya.
Pelajaran
pertama olahraga, Lala meletakkan tasnya ditempat duduknya lalu mengambil
seragam kaos olahraganya dan berganti di toilet sebelah kelas tetangganya. Lala
menghampiri Dewei dan berkata
“hai
Dewi,kamu sudah ganti baju ? kamu mau nungguin aku ganti baju tidak ?
“Dewi
sibuk”
Jawaban
sekar kepada Lala, teman disebelah Dewi. Lala cemberut dan berusaha menerima
sikap temannya itu, kemudian Lala bergegas mencari toilet kosong.
Mulai
dari jam pertama pelajaran hingga bel pulang, Lala selalu sendiri. Ketika
pelajaran dikelas Lala juga duduk sendirian dideretan kursi nomor 3. Berhubung
Lala adalah wanita tomboy, duduk sendirian bukanlah masalah, apalagi ke kantin
sendirian sangat-sangat tidak sedikitpun ada beban untuknya. Ketika bel pulang
berdering, Lala sengaja keluar dari sekolahnya dengan melambat-lambatkan
langkah kakinya agar tidak banyak warga sekolah yang tahu bahwa Lala pulang
kerumah dengan sepeda tua. Tengok kanan tengok kiri, begitulah yang dilakukan
Lala sebelum ia mengambil sepedanya dibalik semak-semak. Setelah sepedanya
diambil, Lala cepat-cepat naik dan mengayuh sepeda dengan kencang. Ditengah
perjalanan tiba-tiba ada sebuah mobil yang mengklakson Lala.
“biiiim,,,biiiiiim”
Lala
terkejut dan hampir membuat keseimbangan Lala goyah. Lala melihat mobil Avanza
hitam mendekatinya. Lalau pemilik mobil membuka kaca jendela mobilnya dan
berkata kepada Lala
“hay
Lala kok baru pulang ?
“eh
pak nur, iya nih pak”
“ya
sauh hati-hati dijalan ya”
“iya
pak nur, terimakasih”
Pak
Nur, guru B. Indonesia ternyata. Lala sedikit lega, karena yang melihat ia
menaiki sepeda tua bukan temannya. Jarak antara rumah dan sekolah lumayan jauh,
biasanya Lala mengayuh kurang lebih 20 menit lamanya. Jelas hal itu kadangkala
mengundang keringatnya keuar. Belum lagi permukaan jalan yang Lala tempuh tidak
rata seperti jalan tol, tetapi berupa batu yang ia lewati.
Sampai
rumah juga akhirnya. Lala langsung meneguk segelas air putih untuk
menghilangkan hausnya. Setelah itu ia ingin makan, tetapi hanya 2 batang umbi
pohung yang tersaji diatas piring lemper.
“iiih,
umbi mulu sih, jadi nggak nafsu makan.”
Ditutupnya
tudung saji yang ia pegang. Lala melepas sepatu dan kaos kakinya yang hendak ia
letakkan dibawah meja belakang. Lala tidak punya rak sepatu, jadi ia
meletakkannya di bawah meja. Lala ganti pakaian seragamnya dengan pakaian
sehari-harinya, pakaian yang sudah pudar warnanya serta terlihat lusuh.
“aku
mau tidur aja ah, berharap mimpi makan enak”
Perkataan
Lala menjelang tidur sambil merapihkan tempat tidurnya, dengan cepat Lala
terlelap dalam tidur siangnya. Sekitar 120 menit, Lala berlabuh dipulau kapuk.
Lala bangun sekitar 4 sore. Lala membersihkan diri dan menjalankan 4 rokaat
wajibnya. Setelah itu, Lala menyambung hobinya kembali membaca novel diatas
pohon mangga.
Hari
semakin petang, Lala melihat orang tuanya pulang dengan menggendong sekarung
umbi. Lala tak perduli dan ia tetap melanjutkan membaca novelnya. Saking asikya
membaca novel, dipanggil ibunya tidak nyahut.
“lala,
hari sudah hampir maghrib, ayo turun”
“Lala,
ibu mau bicara sama kamu”
Ibu
dan bapaknya tetap Lala abaikan, tiba-tiba Lala tertimpuk mangga muda yang
mengenai punggungnya.
“aduuuh”
“tuh
kan, ketimpa mangga, ayo ndok sini turun”
Lala
mengamati langit, terlihat gelap,akhirnya Lala memutuskan untuk turun.
“mak,
Lala lapar”
“tadi
siang kamu nggak makan ? dimeja kan ada umbi ndok”
Lala
menggeleng-gelengkan kepala.
“Lala
males makan, masa dari kemaren umbi rebus terus. Lala bosen mak”
“lala,
hari ini adanya umbi, besok-besok kalo emak punya uang lebih, emak belokan
makanan yang enak buat Lala ya”
“besok,
besok, besok, besok,,, besoknya kapan mak ?”
“udah
lah mak, lala udah nggak laper”
Lala
ngambek lagi dengan ibunya. Lala masuk kerumah lalu meletakkan novelnya diatas
meja depan. Lala duduk dikursi untuk berusaha menenangkan diri dari emosi.
Bapaknya yang habis mandi menghampiri Lala.
“lala,
senyum dong. Bapak ingin melihat lala senyum”
Begitulah
rayuan Bapak Lala untuk membuat putrinya tersenyum, namun tetap saja Lala
cemberut tidak mau tersenyum bahkan menatap mata bapaknya. Kemudian Bapak Lala
kembali merayu.
“Lala,
putri cantik bapak, akan terlihat lebih cantik jika tersenyum. Ayo putri bapak
tersenyum dong”
“sudahlah
pak, mari sembahyang dulu,ayo nduk Lala ikut juga”
“Lala
nyusul”
|
Lala berdiri hendak menutup pintu rumah, lalu ia
menyusul Bapak Ibunya diruang tengah sebelah kanan kamarnya. Malam hari Lala
kali ini diiringi derasan air hujan yang membuat telinganya bising. Rasa kantuk
mnyerang Lala, matanya sangat sayup seolah-olah sulit untuk dibuka. Lala tidur
dengan mengenakan jaket sutra serta slimut tebal untuk menghangatkan tubuhnya.
Tapi disuasana malam ditemani hujan ini terlintas difikiran Lala untuk
mengungkapkan sebuah rasa saati itu. Diambil bolpoin biru dan sele,bar kertas
untuk menorehkan tinta dari tarian tangannya. Lala berangan, berkhayal untuk
menyusun kata. Demi kata agar membentuk kalimah yang bermakna.
Seperti
itulah hasil pemikran Lala, waktu itu ia menjelaskan tentang hujan serta
menggambarkan seseorang yang sepatutnya turunnya hujan. Selain Lala suka membaca
novel, Lala juga suka memainkan kata-kata yang syahdu bahkan menyentuh relung
hati. Banyak koleksi novel yang ia miliki membuat Lala banyak mengenal kata-kta
penyejuk hati dan mampu menciptakan sendiri melalui tinta birunya. Namu, tidak
banyak puisi yang ia buat, Lala hanya membuat ketika hatinya ingin berbicara
mengenai sesuatu hal yang tidak mungkin ia ungkapkan. Dengan begitu ia tidak
selalu menuliskan hal-hal yang ia alami setiap hari. Hari semakin larut, suara
petir semakin mengerikan dan tiupan angiin malam semakin menusuk kulit. Lala
menekan tombol off dilampu belajarnya lalu kembali keranjang tidurnya. Tudak
membutuhkan waktu, Lala pun tertidur pulas sangat pulas.
Kuuukuuruyuuuuuuuuk,
betok, betok, alarm alami dari suara ayam jago milik tetangganya. Mata Lala
terbuka dan bangun dari ranjang tidurnya. Seperti bias biasa aktivitas Lala
dipagi hari yaitu melaksanakan 2 rokaat wajibnya lalu mandi dan berganti
seragam sekolah. Lagi-lagi Lala disambut 2 batang umbi pohung sebagai
sarapannya, Lala tetaplah harus melahapnya agar ia mampu mengayuh sepeda tuanya
nanti. Diraih tangan kanan bapak dan ibu lalu ia cium dan berpamitan mengucap
salam.
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikum
salam, hati-hati dijalan nduk”
Kdua
orang tua Lala tersenyum melihat putrinya mencium tangan mereka. Mereka terus
memandangi Lala yang tengah mengayuh sepeda di jalan sambil mengeluarkan
harapan
“semoga,
kelak Lala sukse ya pak”
“amiin
bu, bapak juga berharap seperti itu. Yasudah ini sudah siang mari berladang
bu,”
“baik
pak”
Begitulah
singkat antara dua insa yang selalu menemani Lala. Mereka mengambil topi yang
terbuat dari anyaman bambu dan mengenakannya.
“kriiiiing”
Bel
masuk telah berbunyi dan Lala pun tepat masuk gerbang sekolah Lala yang
merupakan siswa terakhir yang masuk gerbang. Sejak awal pelajaran hingga akhir
jam pelajaran, Lala sangat giat dan senang hati megikutinya. Pada saat jam
istirahat pertama Lala tidak jajan ataupun kekantin, ia tetap didalam kelas
sambil ng-novel. Lala tidak seperti teman-temannya yang mendengar bel istirahat
langsung berlomba-lomba memperoleh tempat duduk di kantin. Membaca novel cukup
baginya untuk mengisi waktu istirahatnya. Berbeda dengan istirahat kedua. Lala
merasakan keroncongan diperutnya yang ingin menyebabkan ia ingin menyantap
makanan. Semangkuk bakso dan segelas es teh Lala pesan untuk mengganjal
perutnya. Lala melanjutkan ke musholah di sekolahnya dan setelah itu kembali ke
kelas.
Matematika,
ilmu berhitung angka yang lumayan menguras daya fikir Lala adalah mata
pelajaran berikutnya. Awalnya Lala masu kelas, duduk dengan santainya ia
memandang Bu Wiwin guru mapelnya.
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikum
salam wr wb”
Kemudian
Bu Wiwin mulai menyabutkan satu persatu anak didiknya untuk dicek kehadiran
kala mengikuti mapel waktu itu. Penyebutan nama sedang berjalan, Lala
menyiapkan buku dan alat tulisnya untuk mencatat yang akan diserap nantinya,
hingga tiba saatnya nama Lala disebutkan.
“Lala
Aryani”
Sekeitka
hening tak ada jawaban. Ternyata Lala tengah melamun, lalu teman yang duduk
didepan Lala melemparkan kertas kecul. Lala membalas dengan tatapan datar dan
penasaran mengapa ia ditimpuk. Lala bertanya
“ada
apa sih “?
Kemudian
Lala baru tersadar bahwa Bu Wiwin memanggil namanya
“iya
bu, saya hadir”
Langsung
dijawabnya dengan rasa gugup tersipu malu. Disekeliling Lala berteriakan.
“huuuu,,,,,”
“siang
ko tidur”
“gagal
fokus”
Tanggapaan
dari teman-teman sekeliling lala yang kurang suka terhadapnya. Lala berusaha
bersikap tenang, cuek dan masa bodo. Lala mencoba menghiraukan hal tadi untuk
memilih fokus terhadap materi berikutnya. Bu Wiwin akan melanjutkan materi
baru, tapi sebelumnya beliau akan mengulas materi yang kemarin dengan menunjuk
siswa untuk mengerjakan soal dadakan
dipapan tulis.
“Armansyah,
ayo maju kedepan”
Arman,
seorang murid adam yang sejak kecil suka dan pandai matematika. Nlai setiap
tugas mapel ini selalu 9 dan 10 dan hal itu merupakan hal biasa bagi Arman.
Tidak heran kika ia mampu menyelesaikan soal dari Bu Wiwin dipapan tulis.
“untuk
siswa berikutnya, Ibu pengin Lala Aryani”
Seketika
jantung Lala berdebar kencang mendengar namanya dipanggil untuk mengerjakan
soal matematika. Bisa tidak bisa Lala terpaksa harus maju, jantung dalam
dadanya terus berdebar-debar tida jeda.
“dengarkan
soalnya ya La, berapa hasil dari 25% x : + 1256-77,8
Fikiran
Lala melayang-layang mencari cara untuk menemukan angka yang kira-kira
mendekatinya. Tak tau langkah apa yang pertama harus dilakukan untuk memcahkan
sial tadi, tangan Lala bergetar dan keringat dinginnya mulai keluar. Matematika
adalah mapel yang sulit ia pahami dan pas malem Lala juga tidak mempelajari
lagi. Daripada getaran dan debaran yang ia rasakan semakin menakutkan, Lala
memilih mengatakan.
“maaf
bu, saya lupa cara mengarjakannya”
“mengapa
bisa lupa ?”
“semalem
saya tidak mempelajari kembali materinya bu”
“soal
seperti ini saja kamu tidak bisa, gimana materi berikutnya yang lebih sulit
dari soal itu? Sana duduk !
Bu
Wiwin merasa agak kecewa dengan Lala, Lala sangat malu dan merasa bersalah pula
terhadap Bu Wiwin. Sementara teman-teman sekelasnya mencemooh Lala yang membuat
Lala semakin malu. Tapi seorang Lala tetap berusah tegar dan sok tidak peduli
dengan cemoohan itu. Waktu terus berputar hingga sampai sudah be selesai mapel
matematika dan tinggal satu mapel lagi yaitu Bahasa Indonesia.
Gara-gara
hal tadi Lala jadi males mengikuti pelajaran. Menunggu guru mapel masuk kelas,
Lala ingin membuka novelnya dan membaca untuk melupakan kejadian tadi. Lala
asyik dengan novelnya dan hingga ia tidak sadar bahwa guru mapelnya sudah masuk
kelas dan mengucap salam
“Lala
Aryani”
Pak
Nur, guru bahasa Indonesia yang memanggil Lala. Namun Lala tidak mendengar
karena sibuk dengan novelnya.
“Lala
Aryani !”
Dengan
suara lebih keras dari yang pertama Pak Nur keluarkan, Lala pun terkaget dan
segera menutup lalu menyembunyikan novelnya itu
“iya
pak, saya hadir
“kamu
membaca apa tadi ?”
“emm,
novel pak”
“baca
novel boleh tapi inget waktu lah”
“iya
pak maaf”
Lala
menundukan kepala dan lagi-lagi melakukan kesalahan, Pak Nur melangkah menuju
tempat duduk Lala.
“mana
novelnya !”
“ini
pak”
“sementara
novel ini bapa sita”
“haaaah,
ih ngeselin banget sih Pak Nur novelnya disita” sambung lala dalam hatinya
Pak
Nur melanjutkan materi berikutnya. Lala harus mengikuti dengan benar-benar
fokus agar tidak melakukan kesalahan lagi. Bahasa Indonesia adalah mapel yang
lumayan Lala kuasai, hampir setiap tugasnya Lala mendapat nilai 9 dan terkadang
10.
Lala
terus memikirkan novelnya yang disita. Ia takut jika ia tidak bertemu selama
satu minggu. Novel adalah teman diwaktu luang dan bagian dari hobinya. Bosan,
satu-satunya fikiran Lala yang muncul dibenaknya, disaat jika ia benar tidak
bertemu novelnya untuk beberapa hari. Selama jam pelajaran B. Indonesia
berlangsung Lala tidak bisa tenang dari tempat duduknya. Tapi hal itu tidak
membuat fokusnya pudar dalam memperhatikan penjelasan dari sang guru. Kemudian
Pak Nur memberikuan latihan soal indvidu.
“kerjakan
latihansoal ini dan boleh berdiskusi tapi tidak boleh rame. Bapak tinggal dulu,
ada urusan”
Pak
Nur keluar kelas, kurang lebih 10 menit tidak terdengar suara sedikitpun dari
dalam kelas itu, karena semua sibuk menyalin soal yang ada dipapan tulis.
Setelah semua selesai menyalin soal, tidak semua siswa pulaa yang mengerjakan,
ada yang main gadget, bercanda eh bahasa lainnya ngerumpi oleh cewek hits yang
kebanyakan gaya. Lala terpengaruh untuk menutup bukunya dan malas mengerjakan
tapi hal itu terpatah karena ada seseorang yang mengajak Lala bekerjasama untuk
menyelesaikan soal.
“hey,
kamu sudah selsai ?”
“belum”
“kirain
kamu jago dalam mapel kebahasaan”
“haaa,
enggak juga sih”
“boleh
dong, kalo aku mau diajari”
“ajari
? diskusi aja kali aku kan disini juga belajar”
Arman
namanya, seseorang yang mengajak Lala berdiskusi. Berawal dari percakapan yang
garing dan bolpoin biru lala terjatuh dilantai diambil oleh Arman. Disitulah
mulai perbincangan yang akrab diantara mereka. Disela percakapan sesekali ada
yang membuat mereka tertawa. Baru 5 soal yang telah terjawab, waktu tinggal
beberapa menit menuju pulang. Lala mengakhiri diskusi itu, Armanpun kembali ke
tempat duduknya. Lala merapikan buku-buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Buku
tulis B.Indonesianya terjatuh karena letaknya disisi meja terkena seorang teman
Lala yang lari kegirangan hampir bel pulang. Bukunya terbuka dihalaman pertama
dan lala mengambil lalu membaca nama yang tertera dibuku halaman pertama
bukanlah tertulis namanya melainkan “Armansyah” lala bergegas melihat kearah
tempat Arman duduk tapi sudah tidak ada Arman lagi disana. Lalu, Lala
menajamkan penglihatannya keseluruh penjuru titik ruang kelas. Dan bola matanya
terhenti didepan pintu kelas yang menatap seseorang yang ia cari. Lala langsung
berlari untuk memberitahu kalau bukunya tertukar.
“Arman,
!!!”
“ia,
ada apa La ?”
“bukunya
ketuker”
Lala
menunjukan buku tadi kepada Arman. Arman menurunkan tas gendolnya untuk melihat
tasnya lalu mengambil buku Lala.
“ini
dia, maaf ya la”
“iya
nggak papa, santai aja”
Arman
melempar senyuman ke Lala dan dibalas tersenyum lala kepadanya lalu pergi
ketempat duduknya kembali.
Bel
pulang berdering, waktunya Lala pulang. Kali ini Lala pulang lewat jalan yang
melewati ladang dimana kedua orang tuanya bekerja. Lala berhenti di gubug yang
jaraknya lumayan dekat dengan posisi kedua orang tuanya yang tengah berladang.
Lala duduk dan bersandar sebentar di pagar gubug. Tiba-tiba ada seorang pak tua
yang mendekati gubug Lala duduk. Pak tua itu ikut duduk disamping Lala untuk
beristirahat.
“kamu
sedang apa anak manis ?” aya pak tua kepada Lala tetapi Lala mengabaikan hal
itu dan memilih untuk diam.
“apakah
mereka orang tuamu nak? Lanjut pak tua sambil menunjukan jari telunjuk kearah
Bapak Ibu Lala, namun Lala hanya menganggukan kepala.
“kamu
baru pulang dari sekolah ya nak ?”
Lala
mengangguk lagi dan didalam hatinya berkata
“ih
pak tua ini sok kenal sok dekat banget sih” Lala membuang muka dari hadapan pak
tua itu.
Sambil
mengibas-ibaskan topi ala-ala petaninya, pak tua itu bertnaya lagi kepada Lala.
“mereka
orang tua yang hebat, beruntung kamu punya mereka nduk,” kalimat dari pak tua
ia respon didalam fikiran dantidak mengeluarkan suara
“apanya
yang hebat, berladang apa hebatnya ? huh dasar pak tua.”
“pak
mulyo, beliau berangkat dari rumah pagi-pagi buta sekali kerumah bu Nani untuk
mengangkati batu ke truk, setelah itu beliau berjualan ikan laut mili Bu Narsih
hingga siang dan dilanjutkan lagi berladang untuk mencangkul. Sedangkan Bu
Mulyo, beliau berangkat sekitar pukul 7 pagi langsung berladang dari pagi
hingga petang. Mereka orang tua yang sangat hebat, bekerja seitap hari dibawah
terik matahari tanpa kenal kata lelah. Mereka sama sekali tidak pernah
mengeluh. Mereka tetap mampu tersenyum. Maka dari itu, berbanggalah kamu nak
memiliki orang tua seperti mereka.”
Perkataan
panjang lebar kali tinggi pak tua kepada lala yang menurut Lala sendiri tak
penting. Pak tua istirahat sejenak sambil makan sebuah pisang dan seteguk air
putih kemudian melanjutkan pekejaannya.
Sepanjang
perjalanan pulang, lala terbayang pak tua tadi. Lala bersepeda sambil melamun
sampai oleng sepedanya untuk menghindari lobang besar yang Lala liatnya sudah
sangat dekat. Lalapun terjatuh ke semak-semak rerumputan, tangannya terluka
kena ranting semak-semak, kakinya merasa pegal.
Sesampainya
dirumah waktu sore hingga malam Lala menampakan wajah sedihnya. Orang tuanya
pulang membawa seragam dan sepatu baru untuk diberikan kepada Lala dengna cara
mengejutkan Lala.
“ini
nduk untuk mu”
Lala
sangat gembira, wajahnya sangat cerah. Lala tetap teringat perkataanpak tua di
gubung siang tadi, Lala mendekati Bapaknya da kursi depanyang terlihat
kelelahan.
“pak,
emak, bapak sama emak lelah ya ? sini Lala Pijitin.
“ndak
usah nduk, bapak sama ibu udah nggak apa-apa, sekarang kamu lanjutinmakan sana,
ibu kansudah memasak ayam khusus buat Lala, cepet gih habiskan sana.
Mata
Lala berkaca-kaca dan langsung memeluk ibunya.
“Pak,
Mak, Lala minta maaf, karena permintaan Lala ini itu Bapak dan Emak harus
bekerja keras setiap hari sampai kelelahan”
Bapak
dan Ibunya tersenyum lalu memeluk Lala
“tidak
Lala, bekerja kan sudah kewajiban orang tua, jadi Lala tidak usah merasa
bersalah ya”
“terimakasih
ya pak, mka”
Air
mata Lala terus keluar tidak bisa terbendung. Lala benar-benar sedih karena
sadar akan sikapnya yang kasar kepada kedua orang tuanya. Perkataan pak tua
tadi siang telah mengingatkan dan menyadarkan Lala. Sejak saat itu lala tidak
pernah marah-marah kepada orang tuanya untuk menuntut keinginannya terpenuhi.
Lagi-lagi Lala sadar bahwa orang tuanya merasakanlelah yang sangat luar biasa
dan hebatnya mereka berusaha menutupo kelelahannya didepan Lala, putri
sulungnya.
Dari
kejadian malam ini, Lala menuliskan disebuah kertas untuk dijadikan puisi.
Bolpoin birunya habis, Lala memilih menggunakan bolpoin hitamnya.
Kasihmu, sayangmu,,, selalu kau berikan
pada ku,,
Kau banting tulangmu,, kau peras
keringatmu,,
Namun kau selalu berusah tersenyum
didepanku
Walau ku sering mendurhakaimu
Kau tak pernah berhenti memberi semua
itu
Kaupun tak pernah sedikitp
Karena kutahu,,, kau lakukan semua itu
Hanya untuk mebuatku bahagia
Kau cahaya hdiupku
Kau pelita dalam setiap langkahku
Maafkan,, bila aku belum bisa membalas
semua kebaikan
Yang telah kau berikan untukku
Tetapi kau berjanji,,,, aku akan selalu
berusaha dan berdo’a semampuku
Bunda,,
engkau adalah rembulan yang menari dalam dadaku
Ayah,
engkau adalah matahari yang menghangatkan hatiku
Ayah,
Bunda kucintai kau berdua seperti aku mencintai surga
Semoga
allah mencium ayah bunda dalam taman-Nya yang terindah nanti
Comments
Post a Comment