Makalah Pemilu
Kata
Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayahnya
penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Problematika Pemilihan Kepada
Daerah(PILKADA) di Era Otonomi Daerah”. Makalah ini disusun sebagai salah satu
tugas mata pelajaran Pendidikan Pancasila. Dalam penyusunan tugas atau materi
ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa
kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan
bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah
ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu yang berkaitan dengan
“Problematika Pemilihan Kepada Daerah (PILKADA) di Era Otonomi Daerah”, yang
kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi,
dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik
itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan
penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Dalam
kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang kepada yang terhormat :
1.
Ibu Dra. ArbaiyahPrantiasih M.si, selaku dosen mata kuliah pendidikan
Pancasila.
2.
Orang tua kami yang telah membantu baik moril maupun materi.
3.
Rekan-rekan satu kelompok yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini
Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini jauh dari sempurna, baik dari segi
penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari guru mata pelajaran
guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di
masa yang akan datang.
Pekalongan,
Penyusun
DAFTAR
ISI
ABSTRAK
……………………………………………………………………………. i
KATA
PENGANTAR.............................................................................................
ii
DAFTAR
ISI
.......................................................................................................... iii
BAB
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah ......................................................................
1
Rumusan Masalah................................................................................
4
Tujuan Pembahasan.............................................................................
4
Kegunaan Makalah .............................................................................. 5
BAB
II KAJIAN
PUSTAKA
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ..........................
6
BAB
III
PEMBAHASAN
Demokrasi dan Partai Politik ............................................................... 10
Pemilihan Umum ................................................................................
13
Permasalahan Pilkada dan Isu-isu Pilkada...........................................
17
Solusi Permasalahan Pilkada dan Isu-isu Pilkada..............................
20
BAB
IV
PENUTUP
Kesimpulan ..........................................................................................
33
Saran
...................................................................................................
36
Kritik........................................................................................................
37
Daftar Pustaka…………………………………………………………..…..38
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia
adalah negara demokrasi.Demokrasi adalah prinsip bangsa atau negara ini dalam
menjalankan pemerintahannya.Semenjak awal bergulirnya era reformasi, demokrasi
kian marak menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa ini.Demokrasi menjadi
kosa kata umum yang digunakan masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya.Hal ini
didasarkan pada pengertian demokrasi menurut Abraham Lincoln.Demokrasi menurut
Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Salah
satu perwujudan dari sistem demokrasi di Indonesia adalah otonomi
daerah.Otonomi daerah adalah hal, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Otonomi daerah dipandang
perlu dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik dalam dan luar negeri, serta
tantangan persaingan global.Otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas dan
nyata, bertanggung jawab kepada daerah secara proposional, yang diwujudkan
dengan pengaturan, pembagian, dan kemanfaatan sumber daya nasional, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah.Itu semua harus dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi, peran masyarakat, pemerataan, keadilan, serta
potensi dan keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Penyelenggaraan
Otonomi di daerah didasarkan pada isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya. Menurut Hukum Tata Pemerintahan
Negara atau Hukum Administrasi Negara Otonomi Daerah merupakan suatu kewenangan
daerah untuk menjalankan pengaturan, penetapan, penyelenggaraan, pengawasan,
pertanggungjawaban Hukum dan Moral dan Penegakan Hukum Administrasi di daerah
untuk terciptanya pemerintahan yang taat hukum, jujur, bersih, dan berwibawa
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Otonomi daerah sebagai suatu
kebijakan Desentralisasi ini diberlakukan dikarenakan Otonomi Daerah diharapkan
dapat menjadi solusi terhadap problema ketimpangan pusat dan daerah,
disintegrasi nasional, serta minimnya penyaluran aspirasi masyarakat local.
Otonomi merupakan solusi terpenting untuk menepis disintegrasi.
Sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah
kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah
provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing
sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota
memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan
daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala
Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang
merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga
legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya
dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah
(Pasal 40 UU No. 32/2004) .
Sejalan
dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah
dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya
pilkada adalah koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di
era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD,
menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih).
Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya
secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam
memilih kepala daerah.
Dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi.Sesuai
dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam
UU NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat,
yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan
UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala
daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah
orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat
konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat
terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses
pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya
program desentralisasi. Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur
dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf otonomi individu .
Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat
pentingnya pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan
kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu
dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di
tingkat lokal.Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan
kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya
pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.
Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih
langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu
yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum
lagi biaya yang begitu besar , baik dari segi politik (issue perpecahan
internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk
penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue tentang
disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.) maupun
financial. Hal ini kita lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di
sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel,
pemilihan gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena
ketidakpuasan salah satu calon atas hasil penghitungan suara akhir.
Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang
multidimensional. Ada yang bermotif harga diri pribadi (adu
popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait
juga kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang
sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai
niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif
kekuasaan bisa difahami, karena “politics is the struggle over allocation of
values in society”.(Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi
kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti
pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi
fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses
pemerintahan (the process of government) . Dalam kerangka ini cara-cara
“lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise” seringkali
terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang tentang Partai Poltik
UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2011, selalu dimunculkan
persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH
(Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya orang-orang
yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik
oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk memenangkan
pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi di daerah,
untuk mengembalikan modal politik sang calon,serta banyak Perda-Perda yang
bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi. Oleh karena itu,
perlu diketahui berbagai masalah dan isu-isu apa dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah (PILKADA) dan bagaimana solusi untuk memecahkan masalah tersebut.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana sistem serta peran demokrasi dan partai politik?
2.
Bagaimana tentang pemilu umum di Indonesia?
3.
Apa permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada daerah (PILKADA)?
4.
Apa solusi permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada daerah (PILKADA)?
1.3.
TUJUAN
1.
Dapat mengetahui sistem serta peran demokrasi dan partai politik
2.
Mengetahui tentang pemilu umum di Indonesia?
3.
Mengetahui permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada daerah (PILKADA)
4.
Dapat mengetahui solusi permasalahan dan isu-isu pemilihan kepada daerah
(PILKADA)
1.4.
KEGUNAAN MAKALAH
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah pendidikan pancasila dan untuk mengetahui bagaimana
suatu produsen atau perusahaan mendistribusikan produknya.
BAB
II
PEMBAHASAN
3.1.
DEMOKRASI dan PARTAI POLITIK
Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Demokrasi adalah prinsip bangsa atau
negara ini dalam menjalankan pemerintahannya.Sehubungan dengan tersebut, ada
yang namanya partai politik.Dimanapartai politik merupakan salah satu bentuk
perwujudan kebebasan berserikat dan berkumpul yang di jamin oleh konstitusi dan
merupakan salah satu prasyarat berjalannya demokrasi. Selain itu,partai politik
salah satu wujud kongkrit dari partisipasi masyarakat dalam mengembangkan
demokrasi yang tentunya yang diharapkan dapat menjunjung tinggi
kebebasan,kesetaraan kebersamaan,kejujuran,sportifitas dan keadilan.Apter (2007
: 201) memberikan 3 (tiga)ciri penting partai politik,yaitu :
1.
Peran suatu partai sering berubah apa bila kondisi politik di suatu Negara
berubah.
2.
Bahwa bentuknya di tentukan sepenuhnya oleh kerangka sosio politik
masyarakat partai membutuhkan sebuah kerangka acuan konstitusional atau rezim
politik yang cocok dengan fungsi mereka.
3.
Sebagai subkelompok di dalam sistem dengan sarana-sarana mereka sendiri
untuk menghasilkan kekuasaan.
Secara
umum partai politik dapat di definisikan sebagi suatu kelompok yang terorganisir
yang memiliki tujuan yang sama,baik untuk mempengaruhi,merebut maupun
mempertahankan kekuasaanya yang bertujuan untuk memperoleh jabatan-jabatan
politik di pemerintahaan.berikut ini akan di sampaikan beberapa pengertian
partai politik menurut pandangan beberapa ahli politik.Budiarjo (1991)
mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir
anggota-anggotanya mempunyai orientasi,nilai-nilai dan cita-cita yang sama,di
mana tujuan dari kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan
berbuat kedudukan politik,biasanya dengan cara konstitusional untuk
melaksanakan program-programnya.
Kemudian bagaimana dengan pengertian partai politik di Indonesia?berdasarkan
ketentuan pasal 1 undang-undang No.31 Tahun 2002,tentang partai politik,maka
partai politik adalah organisasi yang di bentuk oleh sekelompok warga Negara
Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaankehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan kehendak anggota,masyarakat,bangsa,dan Negara melalui
pemilihan umum.
1.
Dalam ketentuan pasal 202 ayat (1) UU No.10 tahun 2008,tentang pemilu anggota
DPR,DPD,DPRD,provinsi dan DPRD kabupaten/kota,menyebutkan:partai politik
peserta pemilu harus memenuhi ambang atas perolehan suara sekurang-kurangnya
2,5 % (dutia koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk
di ikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR,kemudian pasal 203 ayat (1) nya
menyebutkan partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ambang batas
perolehan suara sebagai mana dimaksud dalam pasal 202 ayat (1) tidak di
ikutsertakan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.oleh karena
itu memperebutkan simpati dan dukungan dari rakyat menjadi sebuah keharusan
apabila partai politik menginginkan tetap eksis.
2.
Undang-undang No.31 tahun 202,lembaran Negara RI tahun 2002 nomor: 138,tambahan
LNRI nomor : 4251,yang mengatur tentang partai politik pada pemilihan umum
2004.
Ada
beberapa fungsi partai politik yang di kemukakan oleh para ahli. Fungsi- fungsi
tersebut adalah sarana komunikasi politik,sarana sosialisasi politik,sarana
rekruitmen politik,pengelolaan konflik,dan fungsi artikulasi dan agregrasi
kepentingan.yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah partai politik kita
sudah menjalankan peran dan fungsinya secara optimal?jawabanya adalah belum
karena partai politik terkadang hanya melakukan komunikasi politik
misalnya,hanya di lakukan pada saat menjelang pemilu atau pada saat kampanye
saja,padahal semestinya komunikasi partai politik dengan konstituennya perlu
dilakukan secara intens untuk melakukan fungsi artikulasi dan sekaligus
agregasi kepentingan sesuai aspirasi dan kebutuhan
masyarakat-konstituennya.begitu juga dengan pengelolaan konflik.dalam kasus
tertentu justru partai di anggap gagal mengelola konflik,tertama konflik yang
di sebabkan oleh perebutan-perebutan jabatan-jabatan penting di partai maupun
jabatan-jabatan publik lainya,misalnya konflik perebutan tiket pencalonan
mejadi calon kepala daerah dan wa kil kepala daerah di beberapa tempat.
Fungsi
yang paling menonjol yang di lakukan oleh partai politik adalah fungsi sarana
rekrutmen politik-yaitu rekruitmen untuk menduduki jabatan-jabatan di
pemerintah,DPR,DPRD,dan jabatan-jabatan publik lainya di daerah.seentara itu,di
sisi yang lain proses rekruetmen kader atau kaderisasi di partai politik kurang
berjalan secara sehat dan dinamis,tertama fnomena ini terjadi di
erareformasi,di mana begitu banyak partai politikdalam melakukan rekrutmen
kader mengandalakan kekerabatan-nepotisme,bahkan ada sebagaian kalangan yang
mengatakan sudah masuk dalam lingkaran dinastik politik,yaitu jabatan-jabatan
strategis di paratai politik di wariskan kepada anak,istri,menantu dan
keponakannya,bahkan fenomena ini juga sudah terjadi pada penentuan
jabatan-jabatan publik di daerah,di mana suaminya tidak bisa lagi maju lagi
menjadi bupatai atau walikota karna terganjal aturan sudah dua periode
menjabat,kemudian di gantikan oleh istrinya.hal ini menjadi salah satu
kelemahan proses rekrutmen partai politik kita.
Adapun
yang berkaitan dengan sistem kepartian,secara umum terdaptat 3 (tiga) sistem
kepartaian yaitu sistem satu partai,sistem dua partai dan,sistem multi
partai.sistem satu partai ialah sistem politik dalam suatu Negara yang
hanya di kuasai hanya satu partai dominan,dalam sistem ini mungkin dapat
partai-partai lain,namun kekuatanya tidak signifikan dan hanya ada satu partai
yang menguasai pemerintahan.sistem satu partai merupakan salah satu ciri Negara
otokrasi,model partai tunggal terdapat di berbagai Negara seperti Negara-negara
afrika (mai,pantai gading) dan Negara-negara eropa timur sebelum keruntuhan
komunisme soviet dan di cina.
Sedangakan
sistem dua partai adalah sistem politik suatu Negara yang memiliki dua partai
utama (major party) dengan kemunkinan adanya partai politik lain,namun tidak
signifikan.hanya terdapat dua partai polit yang kuatannya dua partai politik
utama terkait dengan sistem dan latar belakang sosial Negara tertentu.contoh
Negara yang menerapkan sistem ini adalah Inggris.
Sistem
multi partai adalah suatu sistem politik dimana dalam suatu Negara tidak
terdapat suatu partai politik tertentu yang mungkin menjadi mayoritas absolute
untuk menguasai lembaga perwakilan,atau membentuk pemerintahan tanpa berkoalisi
dengan partai lain.sistem multi partai memiliki kelebihan tertutama bagi
Negara yang memiliki heterogen dalam masyarakatnya.namun,sistem ini di pandang
memiliki kelemahan dari sisi pemerintahan yang di hasilkan yaitu,cenderung
tidak stabil karena tidak ada partai yang dominan khususnya pada sistem pemerinthan
parlementer.sistem ini berkembang di Belanda,Prancis,Swedia,dan
Indonesia.sistem multi partai biasanya di perkuat dengan sistem
perwakilan berimbang yang member kesempatan luas bagi pertumbuhan
partai-partai kecil.
Sementara
itu sistem kepartaian kita yang menerapkan sistem multi partai yang kita
terapkan sejak digulirkannya reformasi yaitu multi pemilu 1999,meskipun kita
juga sebelumnya pernah menerapkannya yaitu pada pemilu pertama pada tahun
1995.kelemahan dari sistem multi partai ini terletak pada stabilitas politk dan
stabilitas pemerintahan,apa lagi kita menerapkan sistem presidensial.sistem
kepartaian multi partai hanya ideal apa bila di terapkan pada sistem
parlementer.sedangka ketidak cocokan sistem multipartai dengan sistem
presidensialisme dapat mengacu pada studi yang di lakukan oleh Mainwaring
(1993) yang menunjukkan,dari seluruh demokrasi di dunia.hanya Chile yang mampu
mngawinkan secara setabil presidensialisme dengan sistem multipartai.menurut
Mainwaring penggabungan presidensialisme dengan multi partai berpotensi
menyebabkan deadlock instabilitas pemerintahan (Tanuwidjaja,2008).hal ini
sejalan dengan apa yang di kemukakan oleh Linz Dan Velenzuela(1994),yang
berpendapat bahwa sistem presidensial yang di terapkandi atas struktur politik
multi partai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antar
lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil
(Hanta Yuada,2010).
Namun
demikian bukan berarti kita lebih setuju dengan sistem kepartaian yang di
terapkan di era orde baru yang menerapkan sistem dua partai dan satu golongan
melalui fusi partai-partai politik yang sudah ada pada saat itu akan tetapi
yang paling realistis adalah kita menerapkan sistem multi partai sederhana
yaitu penyederhanaan partai bertahap melalui penerapan electoral threshold dan
parliamentarythreshold,sehingga eksistensi paratai politik akan di tenetukan
keberlangsungannya oleh rakyat melalui pemilihan umum.
3.2.
PEMILIHAN UMUM
Dalam
suatu sistem politik demokrasi, kehadiran pemilu yang bebas dan adil (free and
fair) adalah suatu keniscayaan. Bahkan sistem politik apapun yang di terapkan
oleh suatu negara, seringkali menggunakan pemilu sebagai klaim demokrasi atas
sistem politik yang di bangunnya.Sistem demokrasi liberal, sistem komunis,
sistem otoriter atau sistem otorier atau semi otoriter sebagaimana yang banyak
diterapkan dibeberapa negara dunia ketiga, hampir semuanya telah melakukan
pemilu secara periodik.Pemilihan umum telah menjadi bagian universal dari
kehidupan masyarakat politik internasional.Oleh karena itu, bisa di pahami jika
banyak ilmuwan politik yang menggunakan pemilu sebagai tolak ukur pelaksanaan
demokrasi di suatu negara. Hal ini seperti yang di kemukakan oleh Ranney, “no
free election, no democracy”.4
Pemilihan
umum merupakan mekanisme dimana rakyat bisa menyalurkan aspirasi politiknya
secara bebas dalam menentukan pemimpin nasional, sehingga dalam konteks ini
sebenarnya tercermin tanggung jawab warga pilihan negara. Oleh karena itu,
rakyat harus mengerti benar bahwa apapun pilihannya hal itu mesti di dasari
oleh alasan yang kuat, rasional dan kritis (rasional voter) ,bukan sekedar
pembebekan politik-asal ikut dan asal pilih (emotional voter), tentunya harus
menjadi pemilih yang cerdas dan bertanggung jawab. Karena meskipun hanya satu
suara, maka pilihan rakyat tersebut sangat berarti dan memiliki implikasi besar
yakni dapat menentukan arah nasib bangsa selama lima tahun mendatang, sehingga
kalau salah pilih, maka tentunya rakyat juga yang akan dirugikan.
Ada
beberapa alasan mengapa pemilu sangat penting bagi kehidupan demokrasi di suatu
negara, khususnya di negara-negara dunia ketiga.Pertama, melalui pemilu
kemungkinan suatu komunitas politik melakukan trasfer kekuasaan secara
damai.Sejaran mencatat, tidak jarang peralihan kekuasaan yang dilakukan di luar
sarana pemilu menyebabkan terjadinya kekacauan dan pertumpahan darah. Beberapa
negara yang melakukan transfer kekuasaan melalui kudeta biasanya (cendrung)
menyebabkan adanya kudet pada transfer kekuasaan berikutnya. Dalam perspektif
kehidupan polotik modern, jalan satu-satunya yang paling mungkin adalah melalui
pemilihan umum yang bebas dan adil.
Kedua,melalui
pemilu akan tercipta pelembagaan konflik. Diakui atau tidak, sistem demokrasi
menuntut adanya kebebasan menyuarakan kepentingan dan konflik secara
terbuka.Bahkan, przeworski menctat, demokrasi itu sendiri merupakan hasil
kontigen dari konflik. Persoalannya adalah bagaimana agar konflik-konflik
itu-khususnya yag berkaitan dengan konflik untuk memperebutkan dan
mempertahankan kekuasaan dapat diselesaikan melalui lembaga-lembaga denokrasi
yang ada?5 oleh karena itu bagi robert dahl, demokrasi poliarki (berskala
besar) memiliki dau dimensi partisipasi politik (warga negar) yang keduanya
saling tergantung serta kontestasi (elit).6
5).
Aribowo, Muh. Asfar dkk, Model-model Sistem ... Op Cit hal. 8
6).
toniA. P, Mengenal teori..., Op Cit hal 300.
Adapun
fungsi dari pemilihan umum menurut Arbi sanit, minimal ada 4 (empat) fungsi
pemilihan umum, yaitu sarana legitimasi polotik, perwakilan politik, sirkulasi
elit politik, dan sarana pendidikan politik.7 Dalam realitas sarana legitimasi
politik, perwakilan politik, dan sirkulasi elit politik. Sedangkan fungsi yang
terakhir yaitu sebagai sarana pendidikan politik kurang begitu di perankan
secara maksimal oleh partai politik.
Untuk
itu menurut Eep Saifullah Fatah, menempatkan pemilu sebagai alat demokrasi
berarti memposisikan pemilu dalam fungsi asasinya sebagai wahana pembentuk
representative government yang jujur, bersih, bebas, adil, dan kompetitif.
Dengan fungsi representative governmentitu, maka sistem pemilihan umum harus
memenuhi tiga prinsip pokok demokrasi, yakni kedaulatan rakyat, keabsahan
pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur.8 Demokrasi
merupakan sebuah konsep yang bersifat universal, tetapi ketika demokrasi hendak
di implementasikan, maka kita akan berhadapan dengan kenyataan bahwa
karakteristik sosial masyarakat akan mewarnai implementasi nilai-nilai
demokrasi yang bersifat universal tersebut.9
Kemudian
untuk menilai sebuah proses pemilu, maka scra konseptual terdapat dua mekanisme
yang bisa dilakukan untuk menciptakan dan sekaligus menilai pemilihan umum yang
bebas dan adil. Pertama, electoral law10 yaitu sistem pemilihan dan perangkat
peraturan yang merata bagaimana pemilu dijalankan serta bagaimana distribusi
hasil pemilu. Atau oleh kalangan ilmuan politik hal itu dikategorikan sebagai
sistem pemilihan (electroral system)11yaitu bagaimana menciptakan seperangkat
metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilihan kedala suatu lembaga
perwakilan rakyat secra adil. Kedua, electroral process yaitu menjalankan
pemilihan umum sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi, mulai
dari tahap pencalonan, kampaye, proses pemunggutan suara dan perhitungan suara,
pembagian kursi dan penentuan calon terpilih. Dalam struktur pemilu menurutnya
terdiri atas tiga substruktur, yakni rakyat, parpol dan pengusha. Mekanisme
pertama yaitu electroral system merupakan intervening variabel terhadap upaya
untuk menciptakan sebuah
7)
Ibid, hal 307, lihat dan bandingkan juga dalam Lily Zakariyah,
perempuan,
politik
dan pemilu 2004, CePDeS-UNDP, jakarta, 2014, hal 84
8)
Ibid, hal 307
9)
Afan Gaffar, politik indonesia ...,Op Cit, hal 344
10)
Moh. Mahfud MD, politik hukum....Op Cit, hal 70
11)Aribowo.
Muh. Asfar dkk, model-model system .....Op Cit, hal 9
12)
Toni A.P, dkk, mengenal teori.....,Op Cit, hal 361
Pemilu
yang demokratis, jujur dan adil serta berkualitas. Karena itu mustahil
menciptakan pemilu yang demokratis, jujur, adil, dan berkualitas, tanpa
terlebih dahulu melakukan pembenahan terhadap perangkat hukum terkait dengan
partai politik, dan pemilihan umum yang di dalamnya memiliki sistem pemilu,
mekanisme pencalonan, kampanye, tata cara pemungutan dan perhitungan suara
serta sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi selama proses tahapan pemilu dan
penyelesaian sengketa hasil pemilu.
Sedangkan mekanisme kedua yaitu elektoral proses, harus di letakkan sebagai
dependent variable. Karena hal itu menentukan sebuah proses pemilu tersebut
berkualitas atau tidak. Artinya dari aspek kualitas proses pemilu misalnya dari
sisi penyelenggaraan pemilu : apakah mulai dari KPU Pusat, KPU daerah, sampai
dengan PPK, PPS, dan KPPS dapat menjalankan netralitasnya sebagai penyelenggara
pemilu dengan tidak melakukan kecurangan yang akan berdampak menguntungkan
ataupun merugikan parpol tertentu atau pasangan calon presiden dan wakil
presiden tertentu. Apakah mengeluarkan regulasi yang tidak berpihak pada parpol
dan pasangan calon tertentu ?Dan apakah menjalankan tugas secara profesional.
Sedangkan dari sisi peserta pemilu dalam hal ini partai politik : apakah tidak
melakukan intimidasi ? Apakah tidak melakukan kekerasan ?Apakah melakukan money
politics.Apakah telah melakukan rekreutmen politik (caleg) secara demokratis di
internal partai dengan menetapkan caleg yang benar-benar dikenal dan di kenal
dengan akar rumput di daerah pemilihannya masing-masing.
Pemilihan
umum di laksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD.Salain itu
pemilihan umum juga untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu tahun
2009 merupakan pemilu ketiga di era reformasi yang menerapkan sistem multi
partai, yang di ikuti oleh begitu banyak partai politik di mana sebelumnya (Era
Orde Baru) hanya di ikuti oleh dua partai politik dan satu golongan karya.
Pemilu di era reformasi ini dapat berjalan relatif dengan baik, jujur, dan
adil, meskipun masih juga kita temukan adanya kecurangan, baik kecurangan yang
dilakukan oleh penyelenggara pemilu maupun kecurangan yang di lakukan oleh
partai politik sebagai peserta pemilu.
3.3.
PERMASALAHAN PILKADA DAN ISU-ISU PILKADA
1.
Daftar Pemilih tidak akurat
a.
Sebagian besar DP4 dari Kab/Kota tidak dapat diandalkan
b.
Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu tempat
c.
Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS
d.
Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal
e.
Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih ketika
sudahditetapkan sebagai daftar pemilih tetap atau ketika sudah mendekati hari
pemungutan suara
f.
Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal.
2.
Proses pencalonan yang bermasalah
a.
Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik.
b.
Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari partai yang sama.
c.
KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon.
d.
Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari pasangan calon/Parpol terhadap penetapan
pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU.
e.
Terhambatnya proses penetapan pasangan calon.
f.
Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU berpihak kepada salah satu
pasangan calon/pengurus parpol tertentu sehingga parpol yang sebenarnya
memenuhi syarat namun gagal mengajukan pasangan calon. Akibat lebih lanjut,
partai politik maupun konstituen kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kepala
daerah yang merupakan preferensi mereka.
3.
Pemasalahan pada Masa kampanye :
a.
Pelanggaran ketentuan masa cuti
b.
Manuver politik incumbent untuk menjegal lawan politik
c.
Care taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan PILKADA
d.
Money politics
e.
Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi
f.
Kampanye negative
g.
Pelanggaran etika dalam kampanye
h.
Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan kampanye di luar waktu yang
telah ditetapkan
4.
Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil
penghitungan:
a.
Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil penghitungan suara dan
rekapitulasi penghitungan suara.
b.
Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara dilakukan oleh PPK,
KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi.
c.
Belum lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas PPK, KPU
Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi.
d.
Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan calon.
e.
Keterbatasan anggota
Panwas mengontrol hasil
penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
5.
Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral
a.
Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada salah satu pasangan calon.
b.
Kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan calon.Tidak adanya ruang
bagi para bakal calon untuk menguji kebenaran hasil penelitian administrasi
persyaratan calon.
c.
Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan Pilkada oleh KPU di atasnya.
d.
Keberpihakan anggota Panwaslu kepada salah satu pasangan calon
e.
Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi pasangan calon yang kalah.
6.
Putusan MA dan MK yang menimbulkan kotroversi
7.
Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan
UU No. 12 Tahun 2008.
8.
Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu
pemilih.
9.
Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada
10.
Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
11.
Sistem pemilihan gubernur.
12.
Sistem pemilihan wakil kepala daerah.
3.4.
SOLUSI PERMASALAHAN PILKADA DAN ISU-ISU PILKADA
1.
Daftar Pemilih tidak akurat.
Permasalahan
daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh
para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan.
Berdasarkan
Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa
PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengangkat petugas pemutakhiran
data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan
pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil
perbaikan, dan daftar pemilih tetap. Melalui pengaturan ini jika dalam
pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai petugas pemutakhiran, maka
permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena RT/RW
adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.
2.
Proses pencalonan yang bermasalah
Permasalahan
dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu
konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan
para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada.
Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat
besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan
pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai
politik atau pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan
adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan
pasangan calon yang dirugikan.
Pasal
59 ayat (5) huruf a
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai
politik pada saat mendaftarkan pasangan calon,
wajib menyerahkan surat pencalonan yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai
politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di
internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai
politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh
DPP partai politik. Dalam permasalahan
ini karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan
rekomendasi DPP partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai
politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik
sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik
tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon.
Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan
bahwa penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat
final dan mengikat.Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang
disalahgunakan untuk menggugurkan pasangan
calon tertentu tanpa dapat
melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan
untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui
pengadilan.
Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu diberi
ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan
dirugikan KPUD.
3.
Pemasalahan pada Masa kampanye.
Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan
pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai
teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk
dan media kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat
dan tim kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan
dirinya.
Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat
belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara",
dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start kampanye
dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan.
Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih
terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap
tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu
pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar
dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.
4.
Manipulasi penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat
terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU
Provinsi.
Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan
manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang
luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit
mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain
pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung
sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.
5.
Penyelenggara Pemilu yang tidak adil dan netral
a.
KPU dan KPU Provinsi
Keberpihakan
KPU atau KPU Provinsi kepada salah satu pasangan calon dilakukan kepada KPU
Provinsi atau KPU Kabupaten dengan memberhentikan atau membekukan para anggota
KPU Provinsi atau KPU Kabupaten. Padahal
pengambil-alihan baru dapat
dilakukan jika KPU dibawahnya tidak dapat melaksanakan
tahapan Pilkada.
b.
KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota
Keberpihakan
KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada salah satu pasangan calon dilakukan
pada tahapan proses pencalonan, penghitungan dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara.
c.
Panwaslu.
Keberpihakan
Panwaslu kepada salah satu
pasangan calon dilakukan khususnya pada tahapan setelah hasil
penghitungan suara, dengan menjadi promoter bagi pasangan yang kalah.
Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat
grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan kerusuhan.Hal terjadi karena
kurangnya pemahaman para anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam melaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan, serta sistem seleksi para anggota KPU,
KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan adanya kebutuhan anggota KPU, KPUD,
Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai integritas tinggi, tidak mudah
mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman yang baik terhadap ketentuan
peraturan perundang-undang Pemilu.
6.
Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat
diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda
bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan
pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final.Setelah dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada
beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya
terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada,
permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil
penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun
Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya
penyelesaian Pilkada berlarut-larut.
Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam
Pilkada, seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya
permasalahan di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan
Pilkada.Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya sebatas sengketa hasil
penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut.
7.
Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun
2008 terkait dengan Pilkada.
a.
Putusan MK No.072-073/PUU-ii/2005 menyatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004:
Dalam pertlmbangan hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak
termasuk dalam kategori pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI
Tahun 1945 namun Pilkada langsung adalah pemilu secara materiil untuk mengimplementasikan
pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu dalam penyelenggaraannya
dapat berbeda dengan pemilu yang diatur pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945,
misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan
perselisihan hasil pilkada meskipun tetap didasarkan asas pemilu yang berlaku.
Pembentuk Undang-Undang No 32 Tahun 2004 telah menetapkan KPUD sebagai
penyelenggara Pilkada yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang yang
terpenting adalah harus dijamin independensinya, terganggunya independensi
penyelenggara mengakibatkan bertentangan dengan kepastian, perlakuan yang sama
dan keadilan sesuai pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah juga
berpendapat bahwa pembentuk undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa
yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI
Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada karena memang dibentuk untuk itu dan
telah membuktikan independensinya dalam pemilu 2004.
b.
Putusan MK Nomor No.22/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa pasal 58 huruf o
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004, namun dalam salah amar putusannya juga menyatakan bahwa masa
jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani
selama setengah atau lebih masa jabatan, dengan kata lain dihitung satu kali
masa jabatan adalah apabila seorang kepala daerah telah menduduki jabatannya
selama 2,5 tahun atau lebih. Penghitungan masa jabatan ini tidak dibatasi
apakah karena pilkada langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
atau pilkada tidak langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009,
karena dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa perbedaan
sistem pemilihan kepala daerah antara langsung dan tidak langsung, tidak
berarti bahwa sistem Pilkada tidak langsung tidak atau kurang demokratis
apabila dibandingkan dengan sistem langsung demikian pula sebaliknya. Dari
pertimbangan majejelis ini berarti bahwa menurut majelis, Pilkada langsung
maupun pilkada tidak langsung sama-sam demokratishya sebagaimana dimaksud pasal
18 ayat (4) UUDN 1945. Bahkan majelis berpendapat setelah pengalaman dalam
pilkada langsung berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sekarang timbul
gagasan baru untuk kembali memberlakukan pilkada tidak langsung, dan hal ini
sah-sah saja.
Perubahan
pengertian norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004 yaitu batasannya
adalah 2, 5 (dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua setengah tahun, belum
dianggap satu kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua)
periode sehingga apabila selama 2 (dua) kali masa pencalonannya selalu
terpilih, yang bersangkutan bisa menduduki jabatannya maksimal 12, 4 (dua belas
koma empat) tahun beberapa hari.
8.
Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu
pemilih.
a.
Penyesuaian tata cara pemungutan suara.
Berdasar
Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "pemberian suara untuk Pilkada
dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara".
Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Perhllu
Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 melalui peraturan KPU pemberian
suara dilakukan dengan memberi tanda "centang". Walaupun cara
pemberian suara dalam Pemilu 2009 dengan memberi tanda centang masih banyak
yang salah sehingga suara tidak sah, namun cara pemberian
suara ini telah mulai
memasyarakat, sehingga agar tidak membingungkan
masyarakat, maka ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan cara
pemberian suara perlu diselaraskan dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
b.
Penyesuaian penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
"Berdasar
Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "Pemilih yang telah terdaftar
sebagai pemilih diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu
pemilih untuk setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu
DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam
rangka efisiensi KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan
dapat dijadikan kartu pemilih. Untuk itu dalam rangka efisiensi pelaksanaan
Pilkada, "ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan penggunaan
kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
9.
Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada.
Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan
mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus
mengundurkan diri dari jabatannya. Namun melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008
tanggal 4 Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketentuan
dimaksud karena menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty,
rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu lima tahun [vide Pasal
110 ayat (3) UU 32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama (unequal
treatment) antar-sesama pejabat negara [vide Pasal 59 ayat (5) huruf i UU
32/2004], sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Akibatnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri
sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah hanya cuti selama kampanye.
Mengindahkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan dimaksud ke
depan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus diberhentikan sementara sejak
pendaftaran sampai dengan dilantiknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang
baru.
10.
Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
Penggabungan pelaksanaan Pilkada diperlukan seiain untuk menghemat biaya
Pilkada juga untuk kejenuhan masyarakat pada Pemilu. Ada beberapa opsi
penggabungan Pilkada.
Optimasi
Penggabungan.
1.
Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan hanya 1 X ,
yaitu dimulai Tahun 2015.
a.
Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 278 kepala daerah, sehingga
jalannya pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b.
Aparat keamanan harus menggelar
pasukan secara serentak di seluruh Indonesia.
c.
Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d.
Dari segi biaya akan dapat dihemat.
2.
Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan 2 X, yaitu dimulai
tahun 2013 dan tahun 2015.
a.
Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 57 kepala daerah, sehingga
jalannya pemerintah daerah menjadi sedikit kurang optimal.
b.
Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di + setengah seluruh
Indonesia.
c.
Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d.
Dari segi biaya akan dapat dihemat.
3.
Pilkada dilaksanakan secara
bersamaan di masing-masing wilayah provinsi
1X sesuai jadwalnya.
a.
Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 225 kepala daerah, sehingga
jalannya pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b.
Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda.
c.
Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d.
Dari segi biaya akan dapat dihemat.
4.
Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara
bersamaan.
a.
Jumlah care taker kepala daerah kecil dan dalam waktu singkat, sehingga
pemerintah daerah masih berjalan normal.
b.
Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda atau Polres.
c.
Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d.
Dari segi biaya akan dapat dihemat.
11.
Sistem pemilihan gubernur.
Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak
demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi
antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan
kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat.
Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat
terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar,
maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan
peninjauan kembali sebagai berikut:
a.
Tinjauan yuridis
Berdasar
1.
Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2.
Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3.
Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga
negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa tidak ada perintah pemilihan gubernur dipilih
secara langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan
melalui system perwakilan tidak bertentangan dengan konstitusi.
b.
Tinjauan filosofis
1.
Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui
sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih
rendah dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi
untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2.
Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara
langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan
bagi kedua sstem tersebut sama.
3.
Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah
(provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi
operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas
kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4.
Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan
pusat dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD,
Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki
nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin
terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga
harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan
oleh DPRD.
5.
Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin
dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka
posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi
pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh
rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6.
Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur
dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim,
tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi
penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi
dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c.
Tinjauan Politis
1.
Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut
bentuk Negara Kesatuan.Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom
menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak
dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan
diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan
yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah
mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI
pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam
menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik
dibandingkan jika dipilih langsung.
2.
Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan
bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota
sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang
besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat
daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai
kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur
sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber
legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d.
Tinjauan Sosiologis
1.
Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi
masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat
dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya
berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan
akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan
dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2.
Menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan
pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam
kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan
program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk
menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan
daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat
setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas
pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e.
Tinjauan efektifitas dan efisiensi
Dari
segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan
pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan
melalui Pilkada secara langsung.
Berdasar
tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan
gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika
dipilih melalui sistem perwakilan.
12.
Sistem pemilihan wakil kepala daerah.
UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis".Tidak ada amanat dalam UUD
Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan
dengan kepala daerah.Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung
berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan.Akan tetapi dalam
perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang,
banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak
harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau
terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling
melemahkan.Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang
juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan
wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver
politik yang saling menjatuhkan.
Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan
perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah
sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa system demokrasi pada umumnya dan
system pilkada pada khususnya harus jujur diakui masih mengalami kendala
sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang “legal system”
sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa sub-sistem hukum
terdiri atas substansi hukum (legal substance) berupa pelbagai produk
legislative yang mendasari system hukum tersebut; kemudian struktur hukum
(legal structure) berupa kelembagaan yang menangani system tersebut dan budaya
hukum (legal culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan filosofi
yang mendasari system hukum tersebut. Dalam ketiga sub-sistem tersebut demokrasi
dan termasuk pilkada masih memerlukan konsolidasi. Warna transksional dan
pragmatism masih menonjol , belum lagi munculnya mukti tafsir dan sikap mendua
(ambiquitas) dalam pelbagai hal. Aapalgi apabila budaya hokum semacam ini
menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai politik
yang sering disebut sebagai “legal culture of the insider”.
BAB
III
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Pelaksanaan
Pilkada/Pemilukada yang telah berlangsung sejak Juni 2005 s/d saat ini secara
umum telah berlangsung secara aman, tertib, dan demokratis dengan tingkat
partisipasi yang cukup tinggi. Meskipun demikian dalam penyelenggaraan Pilkada
ke depan masih perlu dilakukan berbagai penyempurnaan untuk memperbaiki
beberapa kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada, yaitu :
1.
Peningkatan akurasi daftar pemilih.
Dari
segi regulasi, pengaturan data pemilih yang ada dalam Pasal 70 ayat (1) dan
ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 sebetulnya sudah cukup memadai. Kunci
penyelesaian dari daftar pemilih yang kurang akurat adalah pelibatan RT/RW
secara resmi dan intensif baik dalam up dating data penduduk maupun perbaikan
data pemilih.
2.
Peningkatan akuntabilitas proses pencalonan.
Dari
segi regulasi, pengaturan tahapan pencalonan yang ada dalam Pasal 59 sampai
dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup memadai. Untuk
mengatasi kekurangan ini, ke depan pasangan calon perlu diberi ruang untuk
mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan
KPUD.
3.
Masa kampanye yang lebih memadai.
Dari
segi regulasi, pengaturan mengenai kampanye yang diatur dalam pasal 75 sampai
dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum member! waktu yang
cukup, yaitu hanya 14 (empat belas) hari, sehingga tidak cukup bagi masyarakat
untuk mendapatkan informasi lengkap para calon. Untuk itu perlu pengaturan masa
kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik
pemilih untuk menilai para calon dari segi program.
4.
Peningkatan akuntabilitas penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan
suara.
Dari
segi regulasi, pengaturan mengenai penghitungan dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 96 s/d Pasal 101 UU No.
32 Tahun 2004 masih mengandung celah terjadi manipulasi pada pembuatan berita
acara dan sertifikat penghitungan suara yang tidak sama dengan hasil
penghitungan suara yang disaksikan oleh masyaakat, karena tidak semua peserta
Pilkada menempatkan saksi di setiap TPS dan keterbatasan jangkauan Panwaslu
mengawasi penghitungan suara di setiap TPS. Selain itu pengumuman hasil
penghitungan suara yang dipasang di setiap TPS hanya selama TPS ada (tidak
lebih dari sehari), sehingga para saksi peserta Pilkada kesulitan untuk
mengakses hasil penghitungan suara di setiap TPS.Untuk itu perlu pengaturan
yang memungkinkan adanya kontrol dari masyarakat/para saksi calon untuk
mengakses hasil penghitungan suara di TPS maupun hasil rekapitulasi hasil
penghitungan suara di setiap tingkatan.
5.
Peningkatan penyelenggara Pemilu yang adil dan netral
Keberpihakan
penyelenggara pemilu kepada salah satu pasangan calon terjadi karena kriteria
dalam sistem seleksi para anggota penyelenggara pemilu baru belum menjangkau
sikap mental yang diperlukan bagi penyelenggara pemilu yang antara lain harus
netral, obyektif, mempunyai integritas tinggi, kesukarelaan/keterpanggilan
dalam tugas, dan tidak tidak mudah mengeluarkan statement. Untuk itu dalam
revisi UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu perlu penambahan
kriteria sikap mental dimaksud dalam system seleksi anggota penyelenggara
pemilu.
6.
Minimalisasi Putusan MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Meskipun
UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 telah membatasi kewenangan
pengadilan/mahkamah dalam sengketa Pilkada hanya sebatas sengketa hasil
penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut dan
menimbulkan kontroversi. Untuk itu dalam revisi Undang-Undang yang
terkait dengan Pilkada masalah ini
masalah kontroversi putusan Mahkamah
Konstitusi perlu dicarikan jalan keluarnya.
7.
Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahu 2004 dan UU No. 12 Tahun
2008 terkait dengan pelaksanaan Pilkada.
a.
Putusan MK Nomor 072-073/PUU-ii/2004 telah menganulir Pasal-pasal yang ada
dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 sebagai berikut:
1)
Pasal 57 ayat (1) sepanjang anaka kalimat "...yang bertanggung jawab
kepada DPRD",
2)
Pasal 66 ayat (3) huruf e"...meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas
KPUD",
3)
Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat"... kepada DPRD",
4)
Pasal 82 ayat (2) Sepanjang anak kalimat "... oleh DPRD". b. Putusan
MK Nomor No 22/PUU-VII/2009 membatalkan Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004.
Berkenaan
dengan hal tersebut maka dalam revisi Undang-Undang yang terkait dengan Pilkada
masalah ini masalah substansi yang telah dibatalkan tersebut untuk tidak diatur
lagi.
8.
Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih
dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Berkenaan
dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden tahun 2009 dalam pemberian suara sudah tidak lagi mencoblos tapi
menconteng serta penggunaan KTP juga sebagai kartu pemilu, maka untuk tidak
menimbulkan kebingungan di masyarakat perlu dilakukan penyerasian. Untuk itu
ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan tata cara pemberian suara
dan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan
pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Tahun 2009.
9.
Minimalisasi politisasi birokrasi oleh kepala daerah/wakil kepala daerah
incumbent dalam Pilkada.
Dalam
rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan
mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus
aktif.
10.
Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
Optimasi
penggabungan Pilkada di Indonesia yang paling optimal berdasar kriteria
kontinuitas jalannya pemerintahan daerah, kesiapan aparat keamanan, dampak isu
yang akan muncul terhadap dan efisiensi biaya didapat alternatif yang memiliki
skor terbaik, yaitu : "Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama
dilaksanakan Pilkada secara bersamaan".
11.
Peninjauan sistem pemilihan Gubernur.
Seiring
dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan
menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka berdasar
tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan
gubernur secara langsung sudah dapat dipertahankan lagi dan akan lebih efektif
jika pemilihannya dilakukan melalui sistem perwakilan.
12.
Peninjauan sistem pemilihan wakil kepala daerah.
Pemilihan
wakil kepala daerah dilakukan secara langsung berpasangan dengan kepala daerah,
pada banyak daerah telah menimbulkan hubungan yang tidak sinergi dalam
menjalankan tugas dan fungsi.Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala
daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik menjadikan kedua belah saling
waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling
menjatuhkan.Berkenaan dengan tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem
pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu
untuk perkuatan kepala daerah.
4.2.
Saran
1.
Untuk itu merupakan kewajiban kita bersama untuk melakukan pengawasan,
khususnya lebih mengefektifkan fungsi-fungsi pengawasan yang di lakukan oleh
Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), mulai dari pusat sampai di tingkat kecamatan
dan kelurahan/desa serta lembaga-lembaga pemantauan pemilu, sehingga pemilu
benar-benar berkualitas baik dari sisi proses maupun outputnya. Hal ini akan
menghasilkan wakil-wakil rakyat yang benar- benar aspiratif dan kapabel serta
dapat mendapatkan pemimpin nasional yang peka terhadap realitas kehidupan
rakyatnya.
2.
Evaluasi pelaksanaan Pilkada ini dilakukan seoptimal mungkin dalam rangka
menyempurnaan pelaksanaan Pilkada yang telah berjalan lebih dari 5 tahun.
Hasil evaluasi Pilkada ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam rangka
penyempurnaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Pemerintahan Daerah.
4.3.
Kritik
1.
Dinamika politik selama lebih dari sepuluh tahun telah memberikan peran politik
local cukup signifikan. Namun penyempurnaan masih harus dilakukan agar
pemerintahan daerah sebagai aktualisasi dari dinamika politik lokal semakin
menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu
pengaturan suatu struktur atau institusi perlu memperhatikan pertimbangan
filosofis, yuridis, sosiologis, politis, dan praktis.
2.
susunan pemerintahan daerah akan menjadi dasar bagi pembangunan interaksi di
antara mereka. Demikian pula, susunan pemerintahan tersebut juga dapat menjadi
konteks dari peranan yang dimainkan oleh masing-masing susunan pemerintahan
dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan implikasinya terhadap
pendidikan politik masyarakat. Pendidikan politik masyarakat yang terbangun
melalui pemilu kepala daerah diharapkan menciptakan sistem politik yang
demokratis di tingkat lokal dan pada gilirannya akan dapat memberikan
kontribusi bagi terwujudnya sistem politik demokratis di tingkat nasional.
3.
Yang terlebih penting lagi adalah konsolidasi demokrasi yang harus
merupakan konsensus untuk menyempurnakan system demokrasi, khususnya pemahaman
“legal system” di atas, baik yang berkaitan dengan substansi, struktur dan
budaya hukum, yang penyempurnaannya harus merupakan usaha yang tidak pernah
henti (the endless effort). Demokrasi sebagai system politik harus
didukung oleh system hukum yang mantap, yang effektivikasinya akan banyak
tergantung pada kualtias perundang-undangannya; kelengkapan sarana dan
prasarananya; kualitas sumberdaya manusianya baik mental maupun intelektual;
dan partisipasi masyarakat secara luas.
Comments
Post a Comment